JATIMTIMES - Tidak semua perbedaan tampak di permukaan. Di balik setiap ruang kuliah, bisa jadi ada mahasiswa yang berjuang diam-diam melawan hambatan dalam berkomunikasi. Fenomena inilah yang menjadi sorotan Prof. Dr. Rohmani Nur Indah, M.Pd., dosen Psikolinguistik Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, saat berbicara dalam Seminar dan Konferensi Nasional Ulama Perempuan Indonesia di Rumah Singgah Kampus 2, belum lama ini.
Menurut Prof. Rohmani, banyak mahasiswa yang mengalami kesulitan berinteraksi sosial atau memiliki gangguan komunikasi, namun belum pernah tersentuh proses skrining sejak pendaftaran. “Tidak ada pemeriksaan khusus bagi calon mahasiswa dengan hambatan komunikasi,” ujarnya.
Baca Juga : Tol Malang-Kepanjen Butuh Anggaran Rp 10,7 Triliun, DPUBM Berharap 2026 Bisa Terlaksana
Akibatnya, dosen baru menyadari kondisi tersebut setelah perkuliahan berlangsung. Ketiadaan sistem deteksi dini membuat beberapa mahasiswa rentan disalahpahami. Mereka dianggap tidak sopan atau tidak menghormati dosen, padahal masalahnya terletak pada hambatan dalam berbahasa dan memahami konteks sosial.
“Mahasiswa dengan gangguan pragmatik sering dinilai negatif hanya karena gaya komunikasinya berbeda,” terang Prof. Rohmani.
Ia menegaskan, skrining dini bukan sekadar formalitas administratif, melainkan bentuk kepedulian kampus terhadap keberagaman kemampuan mahasiswa. Dengan mengetahui kondisi sejak awal, universitas dapat menyiapkan pendekatan pembelajaran yang tepat dan dukungan psikopedagogik yang sesuai.
“Kalau orang tua terbuka dan kampus tahu sejak awal, mahasiswa bisa mendapat pendampingan yang memadai. Ini akan mencegah kegagalan studi di tengah jalan,” jelasnya.
Riset yang dilakukan Prof. Rohmani menunjukkan sisi positif: sebagian besar dosen UIN Maliki Malang memiliki kepekaan tinggi terhadap mahasiswa dengan hambatan komunikasi. Hasil uji kognitif dan persepsi menunjukkan mereka berada di kategori optimal.
“Banyak dosen menganggap pengalaman mengajar mahasiswa penyandang Asperger syndrome atau gangguan pragmatik sebagai kesempatan untuk belajar dan berinovasi dalam mengajar,” ujarnya dengan nada optimis.
Baca Juga : Go International: Kota Malang Resmi Sandang Status Kota Kreatif UNESCO Bidang Media Arts
Namun, empati personal saja tidak cukup tanpa dukungan kelembagaan. Dalam refleksi pembelajarannya, para dosen menekankan perlunya kebijakan universitas untuk memperkuat sistem pendidikan inklusif. Pelatihan pedagogik, sarana adaptif, dan mekanisme skrining dianggap sebagai langkah krusial.
“Pendidikan inklusif harus berangkat dari pemahaman bahwa setiap mahasiswa punya cara berbeda untuk tumbuh,” tutup Prof. Rohmani.
Ia percaya, UIN maliki Malang mampu menjadi kampus pelopor yang bukan hanya membuka pintu bagi semua kalangan, tetapi juga memastikan setiap langkah mereka di dalamnya benar-benar mendapat ruang untuk berkembang.
