Rektor UB: Budaya adalah Mesin Ekonomi Global, FIB Dorong Packaging Digital Konten Budaya 

Editor

Dede Nana

03 - Dec - 2025, 12:28

Rektor UB, Prof. Widodo, S.Si., M.Si., Ph.D.Med.Sc dan Dekan FIB, Sahiruddin, S.S., M.A., Ph.D (Anggara Sudiongko/MalangTimes)

JATIMTIMES - Stigma lama yang menyebut bidang kebudayaan sebagai sektor non-produktif dan kurang menjanjikan bagi generasi muda dipatahkan telak. Industri budaya dan kreatif terbukti menjadi kekuatan ekonomi dan inovasi global yang signifikan, bahkan turut menjadi penopang perekonomian bangsa di era digital.

Kenyataan ini menjadi sorotan utama dari Rektor Universitas Brawijaya (UB), Prof. Widodo, S.Si., M.Si., Ph.D.Med.Sc., dalam sebuah agenda budaya bertajuk Anugerah Sabda Budaya di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UB, Rabu, (3/12/2025). Ia menegaskan bahwa kebudayaan harus bertransformasi dari sekadar dilestarikan menjadi komoditas global yang didorong melalui inovasi teknologi.

Baca Juga : Pemkot Kediri Genjot Kinerja Website Kelurahan–Kecamatan: Transparansi Layanan Wajib Naik Kelas

Prof. Widodo mengutip laporan UNESCO yang menunjukkan bahwa industri budaya dan kreatif global menyumbang 3 persen dari Produk Domestik Bruto (GDP) dunia dan telah membuka lebih dari 5 juta lapangan kerja di seluruh penjuru bumi. Angka fantastis ini membuktikan bahwa budaya bukanlah entitas statis, melainkan motor penggerak ekonomi yang masif.

"Ini menunjukkan bahwa budaya adalah kekuatan ekonomi dan inovasi. Budaya bukan hanya menjadi bagian penting untuk informasi, tetapi harus kita angkat agar bisa dilihat lebih banyak orang di kancah global," ujar Prof. Widodo.

Lebih lanjut, Prof Widodo menyoroti bahwa Indonesia sebagai bangsa besar, memiliki modal budaya yang luar biasa untuk bersaing di panggung dunia. Kekayaan bangsa ini, mencakup lebih dari 1.300 bahasa daerah dan 11 warisan budaya dunia yang telah diakui secara resmi oleh UNESCO. Kekayaan ini menjadi pondasi kokoh untuk pembangunan ekonomi berbasis budaya.

Untuk memaksimalkan potensi ini, Rektor UB menekankan pentingnya peran Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dalam bertransformasi, menjadikannya garda terdepan dalam menjaga dan mengembangkan model budaya menjadi kekuatan bangsa.

Dalam era yang disebutnya sebagai AI Cultural Renaissance, Prof. Widodo mengajak Indonesia untuk berkaca pada kesuksesan negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, dan India. Negara-negara ini berhasil mendorong budaya mereka menjadi kekuatan ekonomi dunia.

"Budaya harus berdasarkan, dan kita juga harus bisa mendorong perkembangan ekonomi kita," tegasnya.

Untuk mencapai level itu, Prof. Widodo menegaskan bahwa FIB memegang peran strategis. Ia meminta fakultas tersebut fokus pada inovasi yang benar-benar berdampak, terutama lewat dua jalur, yakni mendorong transformasi budaya menjadi produk berkelas internasional dengan memadukan tradisi dan teknologi digital, serta membangun ekosistem kolaboratif yang menghubungkan budaya dengan bidang lain seperti bisnis digital. Hal ini diharapkan agar lahir turunan produk seni yang bernilai ekonomi.

Baca Juga : Penarikan Pajak Listrik dan Parkir Kabupaten Malang Rawan Tidak Mencapai Target

Sejalan dengan arahan tersebut, Sahiruddin, S.S., M.A., Ph.D., Dekan FIB UB menyoroti tantangan terbesar di lapangan: membuat budaya tampil sederhana, ringkas, dan tetap menarik bagi generasi muda di platform digital. “Tantangan kita adalah bagaimana membawakan kebudayaan ini versi simple dan versi pendek,” ujarnya. Ia mencontohkan kesuksesan Korea Selatan yang mampu mengemas K-pop sebagai produk budaya global karena proses kurasi dan produksi yang matang hingga terasa relevan dan “keren” bagi anak muda.

Namun, tantangan terbesar berada pada sisi dokumentasi dan strukturisasi ilmu. Sahiruddin membandingkan kesenjangan penerimaan antara tari balet dan tari Malangan, atau musik piano klasik dan Gamelan. "Mengapa tari balet lebih bisa diterima dibandingkan tari Malangan? Karena ada ribuan buku yang bercerita tentang tari balet. Ketika kita mencari buku tentang tari Malangan atau tari Jawa, masih sedikit," jelasnya.

Ia menegaskan bahwa tugas utama akademisi, khususnya FIB, adalah menjadikan unsur budaya ini memiliki struktur yang bisa dipelajari oleh pihak luar, dengan menciptakan karya-karya yang otoritatif tentang tarian atau musik tradisional.

"Kalau kita ke Google, kalau kita mau nyari buku piano klasik, muncul ribuan. Kalau kita mau nyari buku musik Gamelan, itu masih belum banyak," imbuhnya.

Dengan langkah-langkah strategis ini, Sahiruddin berharap kelak ketika orang ditanya "Indonesia itu apa?", maka yang muncul di benak mereka adalah kekayaan budaya lokal yang telah mendunia, seperti Topeng Malangan.