Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Peristiwa

Berburu Bersama Sultan Agung: Taman Krapyak dan Jejak Hayam Wuruk

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

10 - Dec - 2025, 15:38

Placeholder
Lukisan realis Sultan Agung dalam adegan kepemimpinan, memperlihatkan simbol kekuasaan dan militansi Mataram pada masa kejayaannya.(Foto: created by JatimTIMES)

JATIMTIMES - Dalam sejarah Mataram Islam, nama Sultan Agung Hanyakrakusuma berdiri megah sebagai sosok penguasa yang tidak sekadar menundukkan tanah Jawa dengan pedang dan diplomasi, melainkan juga membangun lanskap simbolik yang membenamkan wibawa raja ke dalam ritus sehari-hari. Bagi Mataram, istana bukan hanya tempat bernaung, tetapi medan menegakkan disiplin, memupuk loyalitas, sekaligus menjaga aura supranatural yang melekat pada pribadi sang sultan.

Di antara berbagai prosesi, upacara pitjaerdaegen yang berarti hari bicara raja dan adegan perburuan di Taman Krapyak menjadi panggung tempat politik simbolik dan spiritualitas kekuasaan Sultan Agung bersemayam. Sejarah tidak hanya mencatat detail tombak waringin dan payung bawal, tetapi juga luka di pahanya yang meneteskan darah di rerumputan taman dan kemudian melahirkan mitologi larangan tombak kayu wregu bagi para penerusnya. Sebuah detail kecil yang, dengan caranya sendiri, berubah menjadi simpul memori kekuasaan.

Sultan Agung

Kehidupan Istana: Tata Ritus dan Disiplin Sosial

Baca Juga : One UI 8.5 Beta Dirilis Samsung, Ada Fitur Baru dari Photo Assist hingga Audio Broadcast

Dalam lanskap sosial Mataram abad ke 17, ritus harian di dalam keraton berdiri sebagai bayangan tertib kosmos yang ditata raja. Tertib itu berakar pada wibawa Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, raja besar Mataram yang memadukan warisan darah politik, spiritualitas, dan disiplin istana yang sangat ketat. Penguasa terbesar Mataram yang lahir di Kotagede pada 14 Oktober 1593 ini mula-mula diberi nama Raden Mas Jatmika, sebuah nama yang melambangkan kesantunan dan kelembutan budi. Namun seiring perjalanan hidup dan ketegasan wataknya, sebutan Raden Mas Rangsang lebih mengemuka, menandai gairah mudanya yang menyala untuk mengangkat Mataram Islam menjadi kerajaan adiluhung.

Jalur keturunannya mempertemukan dua trah besar Jawa. Ayahandanya, Panembahan Hanyakrawati, raja kedua Mataram, merupakan putra sulung Panembahan Senapati, pendiri dinasti Mataram Islam yang menurunkan garis pewaris para raja Jawa Baru. Dari pihak ibu, ia mewarisi darah Ratu Mas Adi Dyah Banawati, putri Pangeran Benawa, raja terakhir Pajang yang pada akhir hayatnya menyerahkan kedaulatan negeri Pajang kepada Mataram. Pertemuan dua garis ini menjadikan Sultan Agung pewaris sah Pajang dan Mataram, baik secara genealogis maupun politis. Ia tampil sebagai simpul penyatu dua pusat kekuatan yang sejak penghujung abad ke 16 saling berkelindan dan kerap bersaing memperebutkan hegemoni Jawa.

Ketika naik takhta pada 1613 pada usia dua puluh tahun, ia menggantikan adiknya, Adipati Martapura, yang hanya bertahta satu hari karena kondisi kesehatannya. Peralihan yang singkat itu meninggalkan pesan kuat tentang kewajiban moral menjaga wibawa dinasti Senapati. Dari momentum itu pula, Raden Mas Rangsang meneguhkan dirinya sebagai Panembahan Hanyakrakusuma, raja yang kelak mengubah Mataram menjadi pusat kekuasaan terbesar di Jawa sejak masa Majapahit. Garis permaisurinya pun memperluas jejaring kekuasaan, sebab ia menikahi dua perempuan terpenting dalam struktur Mataram. Ratu Kulon, putri Sultan Cirebon, memperkuat diplomasi pesisir. Ratu Wetan, cucu Ki Juru Martani, mengikatnya dengan trah Pepatih Sepuh, poros spiritual yang menjaganya sejak kecil. Dari rahim kedua permaisuri itu lahir dua pewaris: Raden Mas Syahwawrat dari Ratu Kulon dan Raden Mas Sayidin dari Ratu Wetan yang kelak menggantikannya sebagai Amangkurat I.

Warisan politik Sultan Agung berkembang seiring ritus istana yang ia tegakkan. Penaklukan Surabaya, Madura, Blambangan, Pati, dan Pajang memperluas wilayah Mataram, dan setelah kemenangan Madura pada 1624, ia menerima gelar Susuhunan Agung. Tidak lama kemudian, ia memperoleh gelar baru dari Imam Ka‘bah, yaitu Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram, sebuah legitimasi yang menegaskan bahwa kekuasaannya telah diterima dunia Islam.

Namun penaklukan semata bukan inti kepemimpinannya. Sultan Agung merumuskan sebuah ekologi kekuasaan yang memadukan politik dengan tatanan kosmos. Ia menyusun Kalender Jawa Islam dengan menggabungkan sistem Saka dan Hijriyah, menata bahasa bagongan agar bangsawan dan abdi dapat berbicara tanpa sekat, menulis Sastra Gendhing untuk menuntun harmoni batin, serta membangun kompleks makam raja yang kemudian dikenal sebagai Astana Imogiri. Kompleks itu pada awalnya terhubung dengan Giriloyo, yang ia peruntukkan bagi ibundanya dan ayah tiri sekaligus pamannya, Panembahan Juminah. Adapun Imogiri didirikan dari tanah dan pasir yang diyakini berasal dari Mekkah. Tradisi lisan menyebut Sultan Agung sempat berniat dimakamkan di Tanah Suci, tetapi dicegah oleh Imam Mekkah agar rakyat Mataram tetap dapat menziarahinya.

Ruang kehidupan istana yang ia bentuk terpantul dalam ritus harian. Sebagaimana dicatat sumber Belanda oleh De Jonge dalam tahun 1862 sampai 1875, Senin dan Kamis dikenal sebagai pitjaerdaegen, hari bicara Raja, hari ketika wibawa takhta diuji melalui kepatuhan pejabatnya. Pada hari itu, para pejabat, baik yang berkedudukan tinggi maupun rendah, wajib hadir di istana. Abdi dalem, punggawa, hingga bupati bawahan tidak memiliki alasan untuk mangkir. Siapa pun yang absen tanpa alasan yang sah terancam kehilangan jabatan atau martabatnya, termasuk matis, tikar upacara yang menandai derajat kehormatan mereka. Dalam pandangan istana, disiplin adalah wajah lahir dari kosmos yang hanya dapat dijaga melalui ketaatan mutlak

Hari Jumat pun tidak luput dari protokol. Seluruh penghuni keraton diharuskan turut serta mendampingi Raja ke masjid pada pukul sembilan pagi. Bukan sekadar ibadah, kehadiran bersama di masjid menjadi penegasan bahwa sang Raja bukan hanya pemimpin duniawi, tetapi juga imam spiritual kerajaannya.

Menarik bahwa ritus pitjaerdaegen di Jawa pada masa Sultan Agung, meski tidak seluruhnya terdokumentasi, selalu dihidupkan kembali dalam ingatan kolektif melalui cerita lisan. Sumber lisan itu, sebagaimana dikutip De Jonge, merekam detail prosesi: tiga tombak tinggi yang melebihi pohon waringin muda ditancapkan di pintu gerbang penjaga. Ketika Raja telah sampai di bangsal terluar, tombak itu dipindahkan mendekati waringin sebagai penanda kehadiran kuasa. Prosesi kemudian berlanjut. Tombak suci tersebut ditata bersama sepuluh tombak kecil dan sebuah payung bawal, yaitu payung tua yang dianyam dari daun lontar sebagaimana dijelaskan Rouffaer dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indië (1896–1904). Di tanah seberang, Kerajaan Gowa juga memelihara tradisi serupa. Payung, tombak, dan waringin dijaga sebagai lambang keberlanjutan legitimasi raja.

Sultan Agung

Lingkaran Kekuasaan dan Para Punggawa

Setelah rangkaian prosesi tombak selesai, Raja berdiri tegap di atas terompah kayu, sebuah panggung kecil yang mengangkat tubuhnya setinggi sekian jengkal dan menegaskan sakralitas titah yang akan disampaikan. Pada saat inilah empat sosok terpenting kerajaan dipanggil menghadap, yakni para penasihat utama, kepala prajurit, serta para bupati yang memegang komando di daerah yang kerap bergejolak. Mereka duduk bersila dalam tiga lingkaran konsentris, formasi yang oleh para penulis Belanda dicatat sebagai pemandangan menakjubkan karena begitu jelas menunjukkan hierarki tanpa celah.

Tidak seorang pun pegawai istana diperkenankan membawa tikar alas duduk, tembakau, atau pelayan pribadi. Ketelanjangan simbolik itu, duduk langsung di tanah tanpa atribut kemewahan, menjadi pernyataan sunyi tentang kerendahan mutlak di hadapan Raja. Begitu sebuah perintah disampaikan, para pejabat yang menerima titah akan bangkit dan berlari sekuat tenaga meninggalkan lingkaran, seakan kecepatan menjadi ukuran loyalitas. De Jonge (IV: 312) mencatat detail ini sebagai bukti bahwa wibawa Sri Baginda dalam prosesi semacam itu tidak hanya dipatuhi, tetapi juga dirasakan hingga ke sumsum tulang para bawahannya.

Kehadiran pengawalan wanita pun membingungkan para utusan VOC. Sebagaimana disaksikan Van Goens dan De Graaf, Sultan Agung muncul ke hadapan utusan Belanda dengan dikawal barisan perempuan yang membawa tombak bermata lidah api. “Di sebelah kanannya seorang wanita duduk berlutut, tombak tersandang di bahu, diikuti empat puluh atau lima puluh wanita di belakangnya,” tulis Van Goens. Tradisi ini bukan anomali: di istana Gowa, hingga kawasan daratan Asia Tenggara lain, para bangsawan kerap dijaga pasukan perempuan yang menjadi tameng spiritual sekaligus simbol kesetiaan tertinggi.

Sultan Agung

Garebeg Puasa: Dentum Senapan di Langit Mataram

Kronologi Garebeg Puasa pada masa Sultan Agung turut direkam sekelebat oleh De Haen. Pada 9 Agustus 1622, utusan Belanda itu berdiri menunggu di gerbang keraton. Ketika jarum jam mencapai pukul sembilan pagi, Raja telah berangkat menuju masjid. Dua jam kemudian, tepat pukul sebelas, prosesi dinyatakan usai. Namun yang justru sampai ke telinga De Haen adalah gemuruh gamelan, dentang gong, dan tiga kali letusan senapan. De Jonge menafsirkan bunyi senapan itu sebagai bentuk penghormatan terhadap gunungan, persembahan hasil bumi yang diarak sebagai perlambang limpahan rezeki. Dentuman itu menembus dinding benteng, mengukuhkan relasi spiritual antara Raja, rakyat, dan alam semesta.

Saat De Haen akhirnya diizinkan memasuki halaman dalam, seluruh rangkaian Garebeg telah berakhir. Yang tersisa hanyalah gema suara yang baru saja merambat di udara, meninggalkan jejak samar tentang kebesaran Mataram yang baru dapat ia tangkap melalui sisa bunyi yang memantul di antara bukit dan lembah di sekitar Imogiri.

Garebeg

Pertarungan Harimau: Ketangkasan dan Wibawa

Baca Juga : PBNU Kubu Gus Yahya: Rapat Pleno Penunjukan Zulfa Mustofa sebagai Pj Ketum Dinilai Tak Sah

Selain Garebeg, istana Mataram di bawah Sultan Agung juga merawat ritus hiburan berdarah: pertarungan penombak melawan harimau. Tahun 1620, Sultan Agung memerintahkan para prajurit menangkap 200 ekor harimau liar dari hutan-hutan sekitar. Proses perburuan memakan waktu hampir dua bulan. Begitu tiba di kota istana, binatang-binatang buas ini dipancing untuk menyerang penombak yang duduk melingkar. Siapa yang berani menombak harimau hingga mati akan dihadiahi jabatan baru, keris pusaka, atau bahkan perempuan istana.

Dalam konteks feodal, keberanian menghadapi harimau menjadi cermin tertinggi dari kesetiaan. Nyawa seorang prajurit ditakar dengan keganasaan binatang buas, sementara Raja, sebagai pemegang kuasa mutlak, dipandang sebagai pemilik sah atas hidup, mati, dan martabat para pengikutnya.

Harimau

Taman Krapyak: Medan Berburu dan Mitologi Tombak

Di antara seluruh fragmen ritus, momen perburuan di Taman Krapyak menjadi simpul narasi yang paling sering disebut dalam babad. Babad Tanah Jawi edisi 1939 sampai 1941 menuturkan bahwa pada suatu siang, Sultan Agung bersama iring-iringan prajurit dan para permaisuri berangkat menuju taman krapyak. Di tempat itu, seekor kijang jantan liar tiba-tiba muncul dan menyerang Sultan. Sang Raja dengan sigap menombak kijang tersebut menggunakan tombak pendek lempak, namun tanduk sang hewan sempat menorehkan luka di paha kirinya. Darah raja jatuh ke semak, menjadi pertanda dan penanda mistis yang mengikat bagi Mataram. Seusai peristiwa itu, Sultan memerintahkan para keturunannya agar tidak lagi memakai tombak kayu wregu seperti miliknya. Larangan sakral tersebut kemudian diwariskan lintas generasi dan melekat sebagai bagian dari memori kekuasaan.

Menariknya, laporan ini didukung catatan De Haen. Dalam kunjungan diplomatiknya pada 24 Juni 1623, ia mencatat Raja tak dapat keluar karena “merasa tidak enak badan, akibat jatuh dari pedati saat menombak seekor hewan buas.” Cerita tutur menyinggung kijang, catatan Belanda menulis banteng liar. Bagi sejarawan, ketidaksesuaian detail semacam ini adalah hukum wajar dalam dialektika sejarah lisan dan dokumen tertulis. Fakta pentingnya: luka pada paha Sultan Agung mengakar menjadi mitologi tombak keramat.

Lebih jauh, sikap Sultan Agung berburu di atas pedati merupakan tiruan dari praktik Hayam Wuruk, Raja Majapahit. Dalam kronik De Graaf (1949: 356), Amangkurat I yang menjadi penerus Sultan Agung juga berburu dengan kereta kerbau tinggi. Simbol pedati berfungsi sebagai isyarat kontinuitas kosmologis. Mataram dipandang sebagai pewaris Majapahit, sebuah semangat yang dihidupkan pada setiap tombak yang ditancapkan, setiap kijang yang roboh, dan setiap tetes darah yang menetes di Taman Krapyak.

Taman Krapyak

Warisan Simbolik: Dari Tombak Waringin ke Dendam Takhta

Pada puncaknya, apa arti ritus perburuan ini? Dalam kerangka historiografi Jawa, politik simbolik selalu melekat pada ruang keraton, senjata pusaka, hingga hewan liar di hutan. Tombak-tombak tinggi di gerbang waringin bukan sekadar senjata: ia penanda tapal kuasa. Payung bawal bukan payung biasa: ia merentang perlindungan spiritual. Taman Krapyak bukan kebun berburu semata: di sanalah seorang Sultan menumpahkan darahnya untuk menanam mitos larangan tombak wregu.

Dalam konteks ideologi kekuasaan, Sultan Agung berdiri di antara percabangan jalur: raja Jawa, panglima Islam, sekaligus pewaris semangat Hayam Wuruk Majapahit. Tradisi pitjaerdaegen meneguhkan hierarki birokrasi: loyalitas adalah ketaatan mutlak, dipagari rasa takut akan kehilangan martabat. Garebeg Puasa menegaskan bahwa kerajaan, bumi, dan langit terjalin dalam satu kosmos. Gamelan berdentum, senapan meletus, dan gunungan diarak sebagai pertanda syukur sekaligus jaminan panen.

Dalam semangat dendam sejarah, ritus-ritus ini bukan sekadar penanda feodalisme yang kaku. Mereka adalah mekanisme kontrol sosial sekaligus benih perlawanan. Ketika generasi berikutnya mulai melawan tatanan lama, mitologi tombak, pitjaerdaegen, hingga prosesi tombak waringin tak pernah mati. Dalam keretakan Mataram pasca Sultan Agung, fragmen upacara yang pernah mengatur ribuan abdi dalem menjadi motif dendam kolektif: orang-orang yang dulu dipaksa tunduk, belajar bagaimana ritus juga bisa menjadi senjata membakar resistensi.

Karta

Jejak di Taman Krapyak

Kini, Taman Krapyak hanya tinggal nama, tetapi bagi penulis sejarah, kebun itulah panggung sakral tempat Sultan Agung pernah berdarah. Tombak pendek lempak, kijang liar, luka di paha, dan perintah larangan tombak kayu wregu adalah jejak kecil yang menunjukkan bagaimana satu insiden berburu dapat menitis menjadi mitos panjang. Dari tombak waringin yang menjulang hingga tombak pendek yang patah di semak, semua menuturkan satu hal: di Jawa, wibawa raja tidak hanya ditulis di prasasti. Wibawa itu mengalir dalam cerita lisan, bertahan dalam upacara, dan berkumandang di antara dentuman senapan Garebeg.

Sejarawan boleh berbeda tafsir: tetapi di Taman Krapyak, Sultan Agung berdiri di atas pedati, menjelma Hayam Wuruk di abad ketujuh belas. Dan di sanalah, darah, tombak, dan wibawa berjumpa dalam lorong mitologi Jawa yang tak kunjung selesai ditulis.

 


Topik

Peristiwa sultan agung taman krapyak mataram islam sultan agung hanyakrakusuma



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Blitar Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya