JATIMTIMES - Pada era transisi antara abad ke-15 dan ke-16, dunia Islam mengalami geliat intelektual yang intensif. Di pusat peradaban Islam seperti Baghdad dan Persia, dinamika pemikiran keagamaan dan tasawuf berkembang pesat, melampaui sekat mazhab dan madzhab.
Di sinilah jejak intelektual seorang tokoh kontroversial Nusantara, Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang, pertama kali dapat ditelusuri secara jelas. Nama aslinya, Abdul Jalil al-Jawy, muncul dalam naskah "Negara Kretabhumi Sargha II" pupuh 77, yang menyebut bahwa ia semasa dewasa pergi menuntut ilmu ke wilayah Persia dan Baghdad Imamiyah. Di tanah para sufi itulah, intelektualitas Abdul Jalil dibentuk selama hampir dua dekade.
Baca Juga : KKN Unikama 2025: Mahasiswa Turun ke Desa, Wujudkan Gagasan Jadi Aksi Nyata
Menurut catatan dalam naskah Negara Kretabhumi Sargha II, pupuh 77, Abdul Jalil—yang kelak dikenal sebagai Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang—lahir dari keluarga ulama di Malaka. Ayahnya, Syekh Datuk Shaleh, dikenal sebagai sosok berilmu tinggi yang menurunkan generasi ulama di kawasan Asia Tenggara. Setelah mencapai usia dewasa, Abdul Jalil memulai perjalanan panjang menuntut ilmu ke Persia dan kemudian menetap di Baghdad selama 17 tahun
Selama 17 tahun, Abdul Jalil mendalami berbagai disiplin ilmu agama dan tasawuf, termasuk berguru pada tokoh Syiah Imamiyah, Abdul Malik al-Baghdadi, seorang mullah yang kemudian menjadi mertua dan guru ruhani pertamanya. Tradisi lisan dalam lingkungan tarekat Akmaliyah menyebut bahwa gurunya adalah bagian dari jaringan sufi Muntazhar, yang memiliki kecenderungan spiritual eksistensialis. Tak berhenti di situ, ia juga berguru kepada Syekh Ahmad Baghdady, pewaris silsilah Tarekat Akmaliyah yang ditarik langsung dari Abu Bakar ash-Shiddiq, sahabat Nabi dan khalifah pertama.
Jaringan intelektual dan spiritual Tarekat Akmaliyah yang diikuti oleh Syekh Abdul Jalil memperlihatkan jalinan transhistoris antara dunia sufi Irak-Iran dan tradisi esoterik Islam Sunni maupun Syiah. Silsilah Tarekat Akmaliyah yang diwarisi dari Syaikh Ahmad Baghdady mencantumkan nama-nama agung seperti Abu al-Husayn Nuri, Alauddaulah Simnani, Sayyid Muhammad Nurbakhsy, hingga Imam Husain bin Ali dan Imam Ja'far al-Shadiq. Silsilah ini tidak sekadar penanda legitimasi spiritual, melainkan juga refleksi atas konstruksi epistemologis yang membentuk kerangka berpikir dan orientasi keberagamaan Syekh Siti Jenar.
Tak berhenti pada satu tarekat, Abdul Jalil juga menganut Tarekat Syattariyah, yang ia peroleh dari sepupu sekaligus guru ruhaniahnya, Syekh Datuk Kahfi. Dalam silsilah Syattariyah, garis transmisinya menyentuh tokoh-tokoh penting dari Abu Yazid al-Bisthami, Jalaluddin Rumi, hingga Maulana Jamaluddin Gujarati dan Syaikh Datuk Isa Tuwu Malaka. Gabungan dua tarekat ini menjadikan Syekh Siti Jenar bukan hanya seorang mursyid, tapi juga seorang intelektual sufi dengan sintesis pemikiran lintas mazhab.
Perjalanan keilmuan Syekh Siti Jenar di Baghdad telah mengubah cara pandangnya secara radikal. Baghdad pada masa itu masih menjadi pusat intelektual dunia Islam, tempat berbagai mazhab dan aliran bertemu, berdebat, dan bertransformasi. Di tengah pertemuan pemikiran itu, Abdul Jalil tidak hanya menyerap ilmu dalam bentuk tekstual, tetapi juga mengembangkan pendekatan filosofis atas spiritualitas.
Ia tidak hanya memahami tasawuf sebagai doktrin, tetapi sebagai pengetahuan intuitif yang dapat dijelaskan secara filosofis. Pengetahuan makrifat, menurutnya, bukan lagi sesuatu yang hanya layak disimpan dalam simbol dan isyarat mistis, melainkan bisa dijelaskan secara rasional dengan perangkat ilmu manthiq (logika) dan filsafat. Pendekatan ini menjadikan ajaran tasawufnya keluar dari pakem ortodoksi Jawa yang ketika itu sangat berhati-hati terhadap doktrin esoterik.
Pengaruh tokoh-tokoh besar seperti Al-Hallaj dan Ibn Arabi tampak kuat dalam bangunan pemikiran Syekh Siti Jenar. Dalam ajaran hulul—sebuah paham tentang bersatunya Tuhan dengan makhluk—ia menjelaskan bahwa penciptaan semesta adalah bentuk manifestasi Allah atas keinginan-Nya untuk dikenal. Hadis Qudsi yang menyatakan "Aku adalah harta yang tersembunyi, lalu Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan makhluk" menjadi dasar metafisika kosmos menurut Syekh Siti Jenar. Ia meyakini bahwa semua yang ada di alam semesta adalah penampakan Zat Allah semata. Khalq (ciptaan) hanyalah bayangan dari wujud mutlak, yaitu Haqq (Tuhan).
Pandangan ini memiliki implikasi sosial dan teologis yang luar biasa. Jika semua ciptaan adalah bagian dari Zat Ilahi, maka tak ada perbedaan esensial antara seorang raja, wali, atau pengemis. Semua makhluk menjadi hijab (tirai) bagi kehadiran Tuhan, dan karena itu, kedudukan sosial-politik menjadi tidak relevan dalam pandangan spiritual. Itulah mengapa, ajaran manunggaling kawula-Gusti yang dikenalkan Syekh Siti Jenar menabrak struktur kekuasaan feodal Kesultanan Demak.
Dalam Serat Seh Siti Dienar (1917), ajarannya ditegaskan dalam bentuk tembang yang mengandung makna egaliterisme spiritual: semua makhluk adalah warana Hyang Suksma (manifestasi Tuhan). Seorang raja atau bupati yang tidak memahami hakikat hidup akan jatuh dalam kehampaan ukhrawi, sedangkan seorang pengemis yang telah waskita (ma'rifah) akan hidup abadi.
Ajaran ini menjadi ancaman serius bagi para elite keraton dan para Wali Sanga yang saat itu menjadi penjaga ortodoksi Islam di Jawa. Kesultanan Demak yang baru berdiri sebagai kekuatan politik Islam pertama di Jawa berupaya menyatukan wilayah-wilayah pesisir melalui patronase keagamaan. Para wali, yang merupakan ulama sekaligus ideolog negara, tentu memandang ajaran Syekh Siti Jenar sebagai benih disintegrasi spiritual dan ideologis.
Ajarannya dianggap menyimpang karena menolak otoritas keagamaan yang berpusat pada hierarki ulama dan negara. Lebih jauh, dengan menempatkan semua manusia dalam posisi setara secara spiritual, ia telah menolak seluruh bangunan feodal yang menjadi dasar legitimasi kekuasaan Demak.
Teks-teks babad dan cerita tutur lokal kemudian mengonstruksi akhir hidup Syekh Siti Jenar sebagai simbol perlawanan spiritual. Ia disebut dihukum mati oleh Dewan Wali karena mengajarkan doktrin yang menyimpang. Namun dalam banyak versi cerita, seperti dalam Serat Centhini dan Serat Cabolek, Syekh Siti Jenar tidak mati, melainkan menyatu dengan Tuhan. Kematian fisiknya hanyalah simbol dari fana fi Allah (lenyap dalam Tuhan), sebagaimana konsep tasawuf yang ia anut.
Jika dilihat dalam perspektif historiografi kritis, kematian Syekh Siti Jenar bukanlah sekadar eksekusi teologis, tetapi ekspresi konflik epistemik dan ideologis antara Islam spiritual yang radikal dan Islam politik yang institusional. Perjalanan intelektualnya dari Baghdad ke Lemah Abang bukan sekadar geografi fisik, tetapi juga migrasi intelektual dari pusat ke pinggiran, dari universalisme tasawuf ke partikularisme budaya Jawa.
Ajarannya, yang menolak klasifikasi mazhab, kekuasaan ulama, bahkan struktur negara, menjadi bagian dari gerakan bawah tanah spiritual yang terus hidup dalam tradisi kebatinan Jawa. Dalam sejarah panjang Islam di Nusantara, Syekh Siti Jenar adalah simbol dari resistensi terhadap ortodoksi, representasi dari Islam yang tidak tunduk pada negara, dan manifestasi dari pencarian makna sejati hidup yang menolak batas-batas doktrinal.
Jejaknya dalam dunia keilmuan tetap dikenang sebagai pertemuan antara logika dan intuisi, filsafat dan tasawuf, antara Baghdad dan Lemah Abang. Ia tidak hanya mewariskan ajaran, tetapi juga metode berpikir kritis yang menuntut agar setiap pengetahuan spiritual bisa diuji, dijelaskan, dan dijadikan jalan menuju keesaan Tuhan. Dalam konteks modern, pemikiran Syekh Siti Jenar dapat dibaca sebagai bentuk Islam humanistik yang menolak hegemoni politik atas kesadaran individu.
Dengan demikian, Syekh Siti Jenar bukan hanya tokoh sejarah, tetapi juga tokoh intelektual yang keberaniannya dalam mempertanyakan otoritas menjadi warisan berharga bagi tradisi berpikir kritis dalam Islam Nusantara. Ia telah menapaki jalan sunyi dari Baghdad ke Lemah Abang untuk menyuarakan kebenaran yang tidak tunduk kepada kekuasaan apa pun selain kepada Sang Haqq semata.
Bukan Syekh Siti Jenar Asli yang Dihukum Mati: Dua Penipu di Balik Mitos Eksekusi Demak
Baca Juga : Benawa II: Raja Terakhir Pajang yang Menantang Sultan Agung
Dalam sejarah Islam Jawa, nama Syekh Siti Jenar kerap muncul sebagai tokoh kontroversial yang digambarkan menentang Wali Songo dan dihukum mati karena ajaran sesat. Namun, seiring penggalian sumber-sumber lokal dan naskah tradisional seperti Carita Purwaka Caruban Nagari dan Serat Niti Mani, narasi ini menghadirkan kompleksitas baru. Kisah kematian Syekh Siti Jenar tampaknya lebih merupakan hasil dari tumpang tindih politik, pemalsuan tokoh, dan propaganda spiritual di tengah perebutan hegemoni pasca-Majapahit.
Awal abad ke-16 adalah masa transisi penuh gejolak. Keruntuhan Majapahit melahirkan kekuatan baru di pesisir utara Jawa: Kesultanan Demak. Dalam konteks itu, dakwah Islam tidak dapat dilepaskan dari dinamika kekuasaan. Raden Patah, pendiri Demak, mendapat dukungan spiritual dari Wali Songo dan legitimasi politik dari konflik dinasti di Majapahit. Namun, tidak semua kelompok elite dan masyarakat menyambut baik dominasi baru ini. Salah satunya adalah jaringan spiritual Ki Ageng Pengging yang dikenal beraliran tasawuf filsafati dan dianggap menyimpan benih pembangkangan terhadap otoritas Demak.
Syekh Lemah Abang—yang diidentifikasi dalam Carita Purwaka Caruban Nagari sebagai seorang ulama dari Baghdad dan penganut Syi’ah Muntadhar—adalah guru ruhani Ki Ageng Pengging. Ia datang ke Jawa Tengah sekitar akhir abad ke-15 dan berdakwah di wilayah Pengging. Ajarannya, yang dikenal sebagai Sasahidan, mengandung unsur manunggaling kawula-Gusti, doktrin penyatuan antara manusia dengan Tuhan yang dianggap menyimpang oleh ortodoksi Sunni yang diusung Demak.
Menurut Serat Niti Mani, Syekh Lemah Abang dibunuh oleh Sunan Kudus di Masjid Ciptarasa pada tahun 1505 M, dengan keris Kanthanaga milik Susuhunan Jati Purba (Syekh Datuk Kahfi). Ia dimakamkan di mandala Anggaraksa, wilayah Caruban. Narasi ini menegaskan bahwa eksekusi dilakukan di ruang suci dan dalam kerangka legitimasi spiritual, namun konteksnya sangat politis—yakni setelah pemberontakan Pengging dipadamkan.
Penelusuran lebih lanjut membuka kemungkinan mengejutkan: tokoh yang dihukum mati oleh Wali Songo bukanlah Syekh Siti Jenar asli, melainkan dua individu yang mengaku sebagai dirinya. Menurut beberapa sumber yang didasarkan pada penelusuran genealogi dan historiografi tradisional, terdapat dua tokoh sentral dalam pemalsuan ini: Hasan Ali, alias Pangeran Anggaraksa, dan San Ali Anshar al-Isfahani.
Hasan Ali adalah anak Rsi Bungsu, bangsawan Cirebon yang memberontak dan diusir dari keraton karena durhaka. Ia menyimpan dendam terhadap Syekh Siti Jenar yang berhasil menjadi guru utama di Giri Amparan Jati. San Ali Anshar, berasal dari Isfahan, adalah mantan teman seperguruan Siti Jenar di Baghdad yang menyimpan rasa iri karena kalah dalam ilmu dan pengaruh spiritual. Ketika usia Siti Jenar telah lanjut, dua tokoh ini berkeliling ke wilayah Jawa, mengaku sebagai dirinya, dan menyebarkan ajaran menyimpang yang mencampur mistik, sinkretisme lokal, dan perdukunan.
Dalam operasinya, Hasan Ali mengklaim diri sebagai Syekh Lemah Abang dan aktif di Jawa Barat, sedangkan San Ali Anshar mengklaim diri sebagai Syekh Siti Jenar dan bergerak di Jawa Timur. Mereka mendekati masyarakat yang belum mengenal sosok asli Siti Jenar dan memalsukan ajarannya. Akibatnya, Dewan Wali Songo, yang semula mencurigai Siti Jenar menyebarkan ajaran menyimpang, menyelidiki lebih lanjut dan menemukan bahwa tokoh yang mereka incar bukanlah yang asli.
Eksekusi akhirnya dijatuhkan bukan kepada Syekh Siti Jenar sejati, melainkan kepada dua penipu itu. San Ali Anshar dihukum mati di wilayah Demak, dan Hasan Ali di Cirebon.
Kisah pemalsuan ini tidak dapat dilepaskan dari realitas kekuasaan. Naiknya Raden Patah dan Sultan Trenggono ke tampuk Kesultanan Demak diiringi intrik berdarah. Trenggono, misalnya, diyakini merebut tahta dari kakaknya, Pangeran Suronyoto (Pangeran Sekar Seda Ing Lepen) dengan membunuhnya dan membuang jasadnya ke sungai. Fakta bahwa masyarakat Pengging dan sejumlah elite spiritual menolak tunduk pada Demak membuat nama-nama seperti Ki Ageng Pengging dan Syekh Siti Jenar harus dilenyapkan atau didiskreditkan secara simbolik.
Salah satu strategi yang digunakan adalah dengan membangun narasi bahwa Siti Jenar dihukum mati karena kesesatan, bahkan tubuhnya berubah menjadi anjing kudisan dan dimakamkan di bawah mihrab Masjid Demak. Narasi ini bertentangan dengan logika hukum Islam dan tampak lebih sebagai propaganda untuk menakut-nakuti khalayak awam serta menghapus legitimasi moral ajaran Siti Jenar di luar struktur negara.
Narasi resmi tentang eksekusi Syekh Siti Jenar oleh Wali Songo tampaknya merupakan rekayasa sejarah yang didorong oleh konflik ideologi, perebutan pengaruh, dan pembentukan otoritas religius pasca-Majapahit. Fakta bahwa yang dihukum mati adalah dua pemalsu yang mengaku sebagai Siti Jenar menunjukkan bahwa nama sang sufi besar justru digunakan sebagai instrumen fitnah oleh musuh-musuhnya.
Dalam kerangka historiografi kritis, Siti Jenar tampak lebih sebagai korban dari pertarungan antara sufisme kerakyatan dan Islam kekuasaan. Di balik kabut mitos dan propaganda, ia tetap menjadi simbol perlawanan spiritual terhadap dominasi negara dan dogma.
________________
Catatan Redaksi: Artikel ini merupakan rangkuman dari berbagai sumber