Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Serba Serbi

Pendharmaan Raja Pertama Majapahit Ditemukan Orang Belanda Dalam Kondisi Runtuh

Penulis : Malik Naharul - Editor : A Yahya

03 - Oct - 2019, 03:22

Placeholder
Candi Simping di masa kolonial Belanda.(Foto : image collection KITLV museum kitlv.nl)

Cerita tutur atau folklor seringkali digunakan untuk merekonstruksi peristiwa sejarah masa silam, ketika data pendukung bersifat historis tidak ditemukan. Untuk kasus seperti ini, cerita tutur bisa menjadi acuan bagi rekonstruksi sejarah. Namun demikian, jika data pendukung dari cerita tutur itu dihadapkan pada data historis, baik kronik-kronik, naskah-naskah jenis babad, catatan-catatan yang lebih tua usianya, otoritas cerita tutur tersebut bersifat sebagai pelengkap.

Cerita tentang keberadaan Candi Simping di Desa Sumberjati, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar tentu tidak lepas dari penelusuran yang dilakukan oleh orang-orang penting pada masa kolonial Hindia-Belanda di Indonesia. Adanya abad kekosongan yang terlampau panjang pada peradaban di wilayah Blitar selatan menjadikan perkembangan mitos tentang reruntuhan bangunan kuno tersebut berangsur-angsur memudar. 

Berubahnya sistem pemeritahan di tiap kerajaan-kerajaan yang berkuasa setelahnya, disertai masuknya aliran-aliran kepercayaan baru menjadikan bangunan kuno tersebut berangsur-angsur ditinggalkan.

Cerita Tutur yang berkembang di masyarakat umumnya sebatas menceritakan tentang mitos-mitos lokal dan kisah Babad Desa. Di Desa Sumberjati sendiri, awal masuknya peradaban diduga sekitar awal abad ke-18. Menurut cerita para sesepuh, penduduk wilayah Blitar selatan kebanyakan adalah pendatang dari Mataraman. Hal ini diperkuat oleh teori sejarah terbentuknya Regentschap Blitar erat kaitannya dengan adanya Perang Jawa. 

Menurut penelitian Pramita Oktarina (1:2013), Perang Jawa yang terjadi antara tahun 1825-1830 dianggap sebagai awal dalam membahas tentang sejarah masuknya peradaban di Blitar selatan.

Kemenangan Belanda menjadikan banyak sisa-sisa laskar Diponegoro yang melarikan diri ke wilayah yang aman dan salah satunya adalah wilayah Srengat dan sebagian menyebar ke wilayah Blitar selatan. Selain itu karena kemenangan Belanda pengawasan bumi mancanegara wetan dari Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta berada di tangan Belanda. Hal ini kemudian melatar belakangi Belanda untuk segera melakukan perjanjian yakni Perjanjian Sepreh yang menghasilkan Resolusi 31 Desember 1830.

Salah satu catatan sejarah paling tua yang menceritakan tentang cikal bakal masuknya peradaban di Sumberjati adalah sejarah Babad Dusun Ringinanom. Dalam kisah babad yang dibukukan melalui cerita tutur turun temurun tersebut menyebutkan angka tahun 1820. Dalam kisah babad yang ditulis dengan Bahasa Jawa halus tersebut menceritakan:

Cinaros kirang langkung waran 1820, wonten salah setunggaling priyagung aja-juluk Mbah Bodho hingkang kirang terang sangking pundi papan dunungipun. Wonten satunggaling cinaros bilih Mbah Bodho rawuh sangking wewengkon Mataraman. Mbah Bodho rawuh kiniring dening garwa tuwin putra-putranipun, mlebet wanagung prapas kidul Kademangan utawi prapas kilenipun Dusun Plosorejo, kanti ancas bade bedah wana sinulap dados papan padusunan Kisah babad yang menceritakan masuknya peradaban di Dusun Ringinanom yang sebelumnya adalah hutan. 

Kisah yang merujuk pada tokoh Mbah Bodho tersebut juga diduga masih berasal dari daerah Mataraman. Beliau diduga masuk dari sebelah selatan Desa Kademangan atau sebelah barat Desa Plosorejo, keduanya merupakan desa yang berbatasan langsung dengan Desa Sumberjati. Mulai saat itulah yang diduga awal masuknya peradaban di wilayah Desa Sumberjati.

Merujuk pada catatatan Kolonial Hindia-Belanda dalam buku “Natuurkundig Tijdschrift Voor Nederlandsch Indie” yang diterbitkan di Batavia pada tahun 1856, Candi Simping pertama kali ditemukan kembali oleh Johannes Elias Teijsmann pada 30 Juli 1854, saat itu Candi Simping masih belum diketahui asal-usul dan nama aslinya. 

Seperti halnya candi-candi lain di Indonesia, masyarakat sekitar menyebut Candi Simping dengan nama Soengkoep (dalam ejakan lama dibaca sungkup/cungkup). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sungkup/cungkup/cung·kup/ diartikan sebagai bangunan beratap di atas makam sebagai pelindung makam; rumah kubur. Maka untuk memperjelas penamaannya, kebanyakan candi-candi di Indonesia yang tidak diketahui nama aslinya, kesepakatan yang diambil dalam dunia arkeologi ialah menamai candi itu berdasarkan nama desa tempat ditemukannya candi tersebut.

Oleh karena itu penamaan bangunan kuno tersebut disesuaikan dengan nama Desa Sumberjati yaitu Tjandi Sumberdjati. Saat ditemukan kembali oleh Teijsmann pada tahun 1854, candi ini sudah runtuh berupa lantai pondasinya saja, sementara banguan atasnya sudah berserakan dan sisanya disusun disekitaran candi. Namun ada beberapa arca yang bentuknya masih indah, salah satunya tingginya seukuran manusia.

"Natuurkundig Tidjschrift: 30 Julij naar Tjandi Soengkoep. Een eind wegs kan men met den wagen afleggen tot de rivier Brantas, waar-over eene hangende brug van rottan en bamboe is aan-gelegd. Hier stijgt men te paard, om langs gebaande en ongebaande wegen de ruïnen te bereiken. In deze streek vindt men nog vele wildernissen en bosschen met vlakken en vruchtbaren bodem, die nog eene groote uitbreiding der bevolking zullen toelaten. Te Tjandi Soengkoep wordt een ingestorte tempel aangetrojBfen , die behalve het front, waar-van nog een gedeelte is staande gebleven , in een^ puinhoopis veranderd. Er is echter een fraai steenen beeld, levens-groot , dat , nog onbeschadigd , met zijne versierselen alle andere in keurio-heid van bewerkinor overtreft; ook heeft het nog niets van den tand des tijds geleden , maar is nog even gaaf als of het pas kortelings was daargesteld. Langs eenen omweg keerden wij door koffijtuinen en dessa's naar de brug over de Brantas terug, om met den wagen huiswaarts te keeren," (147-148: “Natuurkundig Tijdschrift Voor Nederlandsch Indie”)

Artinya:

"30 Juli ke Tjandi Soengkoep. Perjalanan pendek dapat ditempuh dengan mobil ke sungai Brantas, dimana jembatan gantung rotan dan bambu diletakkan. Disini seseorang naik ke atas kuda, untuk mencapai reruntuhan di sepanjang jalan yang dapat dilacak dan tidak ditandai. Di wilayah ini masih ada banyak hutan belantara dan hutan dengan tanah yang datar dan subur, yang akan memungkinkan perluasan populasi lebih lanjut. Di Candi Soengkoep sebuah candi yang ditemui telah runtuh, yang di samping bagian depan, yang sebagiannya telah dibiarkan berdiri, telah berubah menjadi berantakan. Namun demikian, gambar batu yang indah, seukuran manusia, yang masih belum rusak, melampaui yang lain dalam pemilihan prosesor dengan ornamennya; juga belum pernah mengalami kerusakan waktu, tetapi masih sedingin itu baru saja terbentuk. Kami kembali melalui kebun kopi dan desa ke jembatan di atas Brantas dengan jalan memutar, untuk kembali ke rumah dengan mobil,"

Teijsmann merupakan seorang Direktur Kebun Raya Bogor pada masa pemerintahan Hindia￾Belanda yang sangat aktif dalam melakukan penjelajahan umtuk mengembangkan koleksi tanaman di Kebun Raya Bogor. Dalam catatan perjalanannya di Blitar, selain mencari keanekaragaman tanaman Teijsmann juga cukup tertarik dengan peninggalan-peninggalan kuno seperti Candi Penataran dan juga sebuah rerutuhan bangunan kuno di seberang selatan Sungai Brantas yang diduga menjadi awal mula ditemukannya kembali Candi Simping.

Menurut catatan perjalanan Teijsmann pada tahun 30 Juli 1854 tersebut menjelaskan di wilayah Blitar selatan Sungai Brantas masih banyak ditemukan hutan belantara dan hutan dengan tanah datar yang subur, yang memungkinkan perluasan populasi lebih lanjut. Hal ini menggambarkan wilayah ini masih belum banyak dihuni masyarakat seperti sekarang.

Setelah dilakukan penelitian-penelitian oleh para ilmuwan Hindia-Belanda dan disusul dengan ditemukannya kembali Kakawin Negarakertagama, kitab yang berisi tentang sejarah Kerajaan Majapahit karangan Mpu Prapanca oleh J.L.A. Brandes pada tahun 1894, Tjandi Sumberdjati dapat diidentifikasi sebagai salah satu bangunan kuno peninggalan pada masa Kerajaan Majapahit yang bernama Simping. Keberadaan Arca Hari-Hara atau perwujudan Wisnu-Siwa di Candi Sumberdjati diduga kuat sebagai tempat pendharmaan Raja Pertama Kerajaan Majapahit yaitu Kertarajasa Jayawardhana atau sering dikenal dengan sebutan Raden Wijaya. 

Dalam kutipan Kakawin Negara Kertagama dijelaskan: "Ring saka matryaruna lina nirang narendra, drak pinratista jina wimbha sire puri jro, hantahpura ywa panelah sikana sudharmma, saiwa pratista cari teki muwah ri simping,"

Artinya: "Pada tahun saka Matryaruna (1231 Saka/ 1309 M) Baginda Raja wafat, segera diwujudkan dengan arca Budha di dalam istana (puri jro), Antah Pura demikian nama Candi Baginda, tersebut pula dengan perwujudan Siwa di Simping,"

Dari keterangan yang dijelaskan dalam Kakawin Negarakertagama diatas menjadi dasar landasan perubahan nama Candi Sumberjati menjadi Candi Simping, tempat pendharmaan Raden Wijaya atau Kertarajasa Jayawardhana raja pertama serta pendiri Kerajaan Majapahit.

Demikian pula yang diajarkan dalam pelajaran-pelajaran sejarah di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sebagian masyarakat meyakini bahwa Candi Simping merupakan tempat perabuan jenazah Raden Wijaya dikebumikan. Mitos tentang kejayaan majapahit dan kesaktian sang raja seakan melekat pada Candi Simping.(*)


Topik

Serba Serbi



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Blitar Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Malik Naharul

Editor

A Yahya