Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Pendidikan Menelusuri Jejak Peradaban Islam di Blitar (2)

Ponpes Maftahul Ulum Jatinom Blitar, Pondok Sepuh dengan Tradisi Salaf

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Moch. R. Abdul Fatah

29 - Jan - 2019, 03:09

Placeholder
Ponpes Mittahul Ulum Jatinom.(Foto : Team BlitarTIMES)

Pendidikan keislaman di Indonesia telah dimulai sejak pertama masuknya Islam ke negeri ini. Berawal dari masjid dan surau, pendidikan Islam dibawa ke pondok-pondok tempat murid bisa bermalam dan mengkaji ilmu pengetahuan Islam lebih dalam.

Menurut catatan sejarah, Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang ada di Nusantara. Howard M Federspiel, dalam dalam The Oxford Encyclopedia of the Islamic World mengatakan bahwa kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak 1596.

Di Blitar, pendidikan Islam banyak berkembang melalui pondok-pondok pesantren. Salah satu pondok tertua di Blitar adalah Pondok Pesantren Maftahul Uluum. Pondok yang terletak di Desa Jatinom Kecamatan Kanigoro Kabupaten Blitar ini dipercaya telah berdiri sejak tahun 1880 dan didirikan oleh seorang sufi yang bernama KH. Imam Bukhori.

KH. Imam Bukhori lahir dengan nama kecil Samsuri, atau sekarang banyak dikenal dengan nama Mbah Bestir. Beliau merupakan putra dari seorang ulama bernama Muhammad Kahfi Ats Tsani. KH. Imam Bukhori dilahirkan di Kaligintung, Yogyakarta pada tahun ± 1823. Kaligintung dalam hirarki merupakan wilayah Negara Agung  atau wilayah induk yang langsung dipimpin oleh Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Imam Bukhori kecil atau Samsuri lahir pada masa-masa memanasnya kondisi politik di Jawa, khsusunya mataram (Yogyakarta dan Surakarta). Kebijakan politik Kolonial Belanda yang waktu itu banyak menekan kehidupan rakyat dan kesultanan Yogyakarta menjadi api pemicu konflik besar pada tahun 1825 yang kita kenal dengan sebutan Perang Jawa atau Perang Diponegoro.

Seperti keluarga ulama pada umumnya, KH. Imam Buhori selain banyak belajar ilmu agama dari ayahnya, beliau juga mondok dibeberapa ulama besar. Meskipun kurang diketahui dimana beliau menimba ilmu, yang pasti KH. Imam Bukori merupakan tipe orang yang haus ilmu pengetahuan. Terbukti saat remaja beliau mengembara ke Mancanegara wetan (sebutan orang Mataram untuk daerah Jawa Timur).

“Mbah KIai ini menurut sejarah masih berkerabat dekat dengan keraton Yogyakarta. Karena ya memang kabarnya masih dekat dengan keraton, ilmu agama yang dipelajarinya masih murni dari kitab-kitab para ulama terdahulu,” ungkap Sunawan, ketua santri di Pondok Maftahul Uluum, Senin (28/1/2019).

Tidak diketahui secara pasti, pada usia berapa dan dengan siapa beliau menikah saat di Yogyakarta. Namun beberapa riwayat mengatakan beliau pernah menikah disana dan berakhir dengan perceraian.

Hingga kemudian beliau kemudian mengembara ke arah timur untuk memperdalam ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Diantara guru dan murid beliau (dikatakan demikian karena keduanya saling belajar satu sama lain) yaitu Kiai Zaid dari Njalen, Ponorogo. Selain itu, beliau juga berguru pada pendiri Pesantren Keling atau RIngin Agung Pare, bernama Raden Sekepuh atau dikenal dengan nama Kiai Nawawi, beliau adalah seorang priyayi dan bekas penghulu Keraton Surakarta Hadiningrat. Disinilah beliau bertemu dengan seorang sahabat karib dari Desa Jatinom bernama Mas’ud Komarudin yang kelak menjadi kakak ipar Beliau.

Singkat cerita, melihat kealiman KH. Imam Bukhori, KH. Mas’ud menjodohkan Beliau denga adiknya yang bernama Khadijah Binti KH. Hasan Mustar alias KH. Qomarudin pada tahun ± 1883. KH. Qomarudin adalah seorang santri yang ikut berjuang dalam Perang DIponegoro.

Di Jatinom yang saat itu sudah berdiri sebuah pondok yang diasuh KH. Qomarudin, disana KH. Imam Bukhori bersama KH. Mas’ud ikut membantu mertuanya untuk mengasuh para santri. Dari gemblengan beliau-beliau inilah kelak akan melahirkan para santri dan pejuang yang memiliki andil besar dalam dakwah islam dan pembebasan Nusantara dari cengkraman para penjajah.

Belum berselang lama KH. Imam Bukhori melanjutkan perjuangan dakwahnya ke Jambewangi, Wlingi. Disana beliau mendirikan sebuah pesatren dan memiliki santri yang cukup banyak. Namun, belum sempat berkembang lebih besar KH. Imam Bukhori dijemput Paman Nyai Khadijah, Yaitu KH. Irfan untuk kembali ke Desa Jatinom untuk membantu KH. Qomrudin berdakwah disana.

Pada tahun ± 1883, KH. Imam Bukhori diberi sebidang tanah untuk merintis kembali pusat penggemblengan agama islam yang diberi nama Daarus Salaam yang berarti Kampung Damai. Sebagaimana pesantren pemula, dibidang tanah tersebut didirikan sebuah masjid kecil dan sederhana serta beberapa kamar pondokan santri.

Baru hingga 1923 KH. Imam Bukhori memimpin pembangunan Masjid dan pondokan yang cukup layak yang diberi nama Pondok Pesantren Maftahul Uluum. Disinilah beliau mengajarkan para santri berbagai ilmu keislaman.

“Memang kalau disini, yang banyak diajarkan ilmu alat, artinya ilmu nahwu shorof. Jadi santri bisa membaca kitab kuning itu lebih diutmakan. Nantinya yang diharapkan setelah mereka lulus bisa berguna di masyarakat, terutama bisa ngaji dan mengajari masyarakat tentang ilmu agama,” terang Sunawan.

Hingga saat ini yang banyak diajarkan di Pondok Pesantren Maftahul Uluum ini antara lain, Al Quran dan Tafsirnya, Hadist, Nahwu, Sharaf, Ilmu Fiqih dan lain-lain. Sudah tak terhitung lagi lulusan pondok Maftahul Uluum yang sekarang menjadi ulama besar di wilayah Blitar dan sekitarnya.

Meski didirikan sejak tahun 1800-an pondok ini masih mempertahankan gaya arsitektur bangunan kuno dengan ciri khas tembok-tembok tebal di setiap bagiannya. Selain itu, tradisi-tradisi salafiyah masih dipertahankan hingga sekarang seperti ngaji bandongan dan maknani kitab kuning.

Salah satu tradisi yang masih dijaga sampek saat ini diantaranya Grebeg Maulud, jadi setiap maulud itu bikin tumpeng berukuran besar yang terbuat dari susunan telur yang dibikin gunungan. Diarak keliling kampung terus dibagikan ke masyarakat,” jelas Suanawan.

KH. Imam Bukhori diberi yang cukup panjang yaitu sekitar 122 tahun. Beliau berpulang ke rahmatullah pada tahun ± 1945. Konon beliau memiliki firasat sebelum beliau wafat, sering kali setiap bangun tidur sebelum kepulangannya beliau berkata ‘Ealah, durung dipundut to (Ealah rupanya belum dipanggil Allah).

Sepeninggal KH. Imam Bukhori, Pondok Pesantren Maftahul Uluum diasuh oleh salah satu putranya yaitu KH. Banu Sofwan. Hingga saat ini Pondok Jatinom diasuh oleh KH. Abdul Hafidz bersama Puteranya KH. Abul Fatih Zakaria.(*)


Topik

Pendidikan



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Blitar Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Moch. R. Abdul Fatah