Sejarah sering kali tampak berulang. Orang-orang belajar dari sejarah dengan pikiran bahwa sejarah bisa saja terulang kembali. Dari pola-pola sejarah mereka mencoba mencari titik temu antara gagasan dan momentum yang menentukan jalannya sebuah peristiwa sejarah.
Sebagian ada yang terobsesi untuk mengulangi sejarah. Mereka mencari kecocokan antara peristiwa masa lampau dengan kondisi sekarang. Lalu, mereka merancang sebuah gagasan dengan meniru tindakan di masa lalu. Dengan harapan mereka ingin menjadi pelaku sejarah.
Obsesi untuk menjadi pelaku pengulang sejarah itu selalu ada. Karena itu banyak orang yang suka mencocok-cocokkan situasi, antara situasi sekarang dengan situasi di masa lalu. Salah satu poin yang banyak diperdebatkan saat ini adalah persoalan melemahnya nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dollar Amerika.
Banyak yang beranggapan apakah kondisi saat ini sama dengan situasi krisis menjelang 1998. Apakah isu-isu kebhinekaan yang berujung aksi unjuk rasa dari berbagai kalangan akhir-akhir ini menjadi indikasi melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap rezim yang sedang berkuasa?
Bagi aktivis 1998 isu-isu krisis adalah trauma sekaligus momentum. Mereka tentu belajar dari para pendahulu mereka yaitu para aktivis 1966. Keduanya memiliki beberapa kesamaan, yaitu tumbangnya rezim yang telah berkuasa sangat lama yang diawali dengan krisi dan kerusuhan di mana-mana, dan mahasiswa berperan besar saat itu.
Para aktif\vis di tahun 1998 menjadikan aktifis tahun 1966 sebagai rujukan gagasan. Begitu pula para aktivis saat ini menjadikan aktivis tahun 1998 sebagi sumber referensi. Namun apakah momentum penting yang perlu diulang? apakah krisis yang pernah terjadi di masa lampau sepenuhnya kesalahan rezim yang berkuasa?
Perdebatan ini seakan tidak berujung. Rantai krisis, kekacauan dan hegemoni penguasa tidak sepenuhnya bisa menjadi tolak ukur yang tepat. Belajar dari peristiwa sejarah yang telah lampau ada beberapa anggapan bahwa krisis dan kerusuhan 1998 ditunggangi oleh konspirasi dengan berbagai kepentingan politik. Menurut beberapa tokoh, lengsernya rezim pemerintahan Presiden Soeharto merupakan kepentingan asing untuk menguasai perekonomian di Asia Tenggara.
Dilansir dari arsip Harian Kompas yang terbit pada 2 Januari 1982, Presiden Soeharto bahkan sudah membantah anggapan kecurangan pemilu, meskipun pemilu baru berlangsung pada 4 Mei 1982. Saat itu bahkan Soeharto menjanjikan pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Periode 1980-an juga diwarnai sejumlah pelanggaran hak asasi manusia, yang menjadi catatan hitam kekuasaan Orde Baru. Pelanggaran HAM berat itu di antaranya penembakan misterius alias petrus, peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, penggusuran paksa untuk Waduk Kedung Ombo, juga peristiwa Talangsari pada 7 Februari 1989.
Tidak hanya pelanggaran HAM, kekuasaan Orde Baru juga disertai dengan catatan pelanggaran terhadap hak demokrasi. Jurnalisme dibelenggu dengan penerbitan surat izin usaha penerbitan pers.
Kritik terhadap pemerintah, dipastikan menjadi jalan untuk dicabutnya SIUPP, yang berarti perusahaan pers dipaksa berhenti beroperasi. Belenggu yang dihadirkan rezim Orde Baru malah menumbuhkan aktivis demokrasi.
Sejumlah gerakan perlawanan muncul, yang kemudian segera dibungkam pemerintah dengan cepat. Salah satu tonggaknya adalah Tragedi 27 Juli 1996. Setelah peristiwa yang dikenal dengan sebutan Tragedi Kudatuli itu, dinamika politik semakin panas, apalagi menjelang Pemilu 1997. Periode ini juga ditandai dengan penculikan sejumlah aktivis demokrasi. Beberapa aktivis bahkan masih hilang hingga sekarang.
Namun, angin kencang yang dapat menggoyang kekuasaan Orde Baru terjadi pada pertengahan 1997, akibat krisis ekonomi. Dikutip dari buku Detik-detik yang Menentukan. Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006) yang ditulis presiden ketiga Bacharuddin Jusuf Habibie, krisis moneter itu "berkembang menjadi krisis multidimensional berkepanjangan di berbagai bidang".
Krisis menyebabkan Presiden Soeharto meminta Dana Moneter Internasional (IMF) untuk ikut membantu. Namun, IMF tidak dapat membantu.
Krisis berlanjut, yang menyebabkan 16 bank harus ditutup. Buku yang ditulis Habibie itu mencatat, pada akhir Januari 1998, nilai rupiah terpuruk di angka Rp 11.050. Krisis bahan pokok juga terjadi. Pengangguran pun makin meningkat, dari 4,68 juta pada 1997 menjadi 5,46 juta pada 1998. Krisis itu juga yang menyebabkan rakyat menuntut perubahan kepemimpinan.
Wacana reformasi pun bergulir, bermula dari diskusi dan aksi di dalam kampus, hingga akhirnya demonstrasi terbuka yang dilakukan mahasiswa di jalan raya. Demonstrasi mahasiswa semakin membesar, terutama setelah terjadi penembakan terhadap mahasiswa yang melakukan demonstrasi di depan Universitas Trisakti. Penembakan yang terjadi pada 12 Mei 1998 itu menewaskan empat mahasiswa Trisakti.
Dikutip dari merdeka.com dari kaca mata Mahathir Mohamad Perdana Mentri Malaysia dalam Buku “Pak Harto The Untold Stories”, Soeharto sengaja dijatuhkan pada tahun 1998. Dia mengaku tahu hal itu karena krisis yang sama juga melanda Malaysia.
"Tekanan Pak Harto amat berat pada saat terjadi krisis mata uang di tahun 1998. Pak Harto mengatakan dirinya tidak dapat tidur," ujar Mahathir lagi.
Saat itu, krisis ekonomi memang melanda Asia Tenggara. Mata uang Malaysia juga jatuh dari RM 2,5 per dolar menjadi RM 5, sedangkan rupiah dari Rp 2500 per dolar menjadi Rp 16 ribu. Hal itu yang membuat Indonesia sangat miskin saat itu.
Saat itu semua orang menyalahkan Soeharto, padahal semua negara mengalami krisis yang sama. "Saya berkesimpulan bahwa badai perekonomian yang melanda Asia Tenggara pada tahun 1998 itu memang dirancang untuk menjatuhkan pemerintahan Pak Harto," tulis Mahathir lagi di halaman 30. Politisi senior Malaysia ini pun menyayangkan banyak tokoh yang menyalahkan Soeharto soal krisis 1998. Menurutnya, Soeharto justru memiliki peran penting di ASEAN.
